Struktur bangunan masjid
mempunyai nilai historis seni bangunan arsitektur tradisional khas Indonesia.
Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona, dan berwibawa. Kini Masjid
Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap masjid
berbentuk limas piramida, menunjukkan
Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian, (1) Iman, (2) Islam, dan (3)
Ihsan. Di masjid ini juga terdapat “Pintu
Bledeg”, bertuliskan “Condro
Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388
Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden
Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang
kharismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra
sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun
1401 Saka.
Gambar bulus terdiri
atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan
bulus berarti 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini
diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini
didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Soko Majapahit, tiang
ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah
dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika
menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
Pawestren, merupakan
bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan
konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap (genteng dari
kayu) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya
berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran
15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat,
tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan
tahun 1866 M.
Surya Majapahit,
merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para
ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya
Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
Maksurah, merupakan
artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika
unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid.
Artefak Maksurah di dalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memuliyakan
ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebutkan angka tahun
1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A.Aryo
Purbaningrat.
Pintu Bledheg, pintu
yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo
pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang
berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Mihrab atau tempat
Pengimaman,Di dalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro
Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna
tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di dalam Mihrab sebelah
kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan
Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
Dampar Kencana, benda
arkeolog ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk
Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi.
Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521-1560 M, secara
universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan
Patih Gajah Mada.
Soko Tatal/ Soko Guru
yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang
bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1.630 cm. Formasi tata
letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada
di Barat Laut didirikan oleh Sunan Bonang, Barat Daya karya Sunan Gunung Jati, di
bagian Tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di Timur Laut karya Sunan
Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai
Soko Tatal.
Situs kolam Wudlu,
Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat
untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya
meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.
Menara, bangunan
sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi
baja ini sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara
diprakarsai para ulama, seperti KH. Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak),
R. Danoewijoto, H. Moh Taslim, H. Aboebakar, dan H. Moechsin.
sumber:https://betulcerita.blogspot.co.id
sumber:https://betulcerita.blogspot.co.id
0 Response to "SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK"
Post a Comment